STUDI KOMPARASI PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM ISTRI PASCA MULA’ANAH
Keywords:
Istri, Hukum, Mula‟anahAbstract
Li‟an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya
berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam
tuduhannya. Kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia
bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta. Semua mazhab sepakat atas wajibnya
berpisah bagi kedua orang tersebut sesudah mereka berdua bermula‟anah tetapi mereka
berbeda pendapat tentang apakah si istri menjadi haram selamanya bagi suaminya,
dalam arti dia tidak boleh lagi melakukan akad nikah sesudah mula’anah tersebut,
bahkan sesudah si suami mengakui sendiri bahwa yang dia tuduhkan itu sebenarnya
dusta belaka. yang menjadi pertanyaan apakah haram secara temporal, dan dia boleh
melakukan akad kembali dengan istrinya itu sesudah dia mengakui kedustaannya?.
Dalam hal ini Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i memiliki beberapa persamaan dan
perbdaan pendapat.
Persamaannya adalah kedua Mazhab sama-sama sepakat bahwasanya wajib
berpisah bagi suami istri sesudah mereka berdua bermula‟anah. Mazhab Hanafi dan
Mazhab Syafi’i juga sepakat bahwasanya Mula’anah tidak jadi dilaksanakan jika tidak
ada syarat-syarat seperti: a) Orang yang dituduh berzina istrinya sendiri, b) Suami tidak
mempunyai saksi dalam tuduhannya, c) Istri membantah apa yang dituduhkan
kepadanya, d) Tuduhannya itu khusus tuduhan zina atau tidak mengakui anak yang
dikandung istrinya. Sedangkan perbedaan pendapat kedua Mazhab terletak dalam hal
status hukum istri pasca mula‟anah. Menurut Mazhab Hanafi bagi Suami Istri yang
telah bermula‟anah jika suaminya sudah mengakui bahwa ia berdusta dalam
tuduhannya, dan si istri mengakui kebenaran ucapan si suami maka mereka dibolehkan
menikah kembali. Karena dasar haramnya untuk selama-lamanya bagi mereka adalah
semata-mata tidak dapat menentukan mana yang benar dari suami istri yang
bermula‟anah tersebut padahal sudah jelas salah satunya pasti ada yang berdusta.
Karena itu jika telah terungkap rahasia tersebut, maka keharaman selama-lamanya jadi
terhapus. Sedangkan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa istrinya itu menjadi haram dia
kawini untuk selama-lamanya, sekalipun dia telah mengakui bahwa dirinya telah
berdusta. Jika suami mengakui dirinya berdusta ketika menuduh istrinya berzina, maka
hal ini tidak membuatnya dapat kembali kepada ikatan pernikahan, dan tidak membuat
hilang pengharaman yang bersifat abadi karena perkara ini adalah hak untuk suami, dan
dia telah batalkan haknya dengan perbuatan mula‟anah. Oleh karena itu, tidak mungkin
baginya untuk kembali bersama lagi.
Downloads
Published
Issue
Section
License
Copyright (c) 2020 AL MAQASHIDI
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.